Pada
sabtu yang biru itu. kecerahan diatas langit menjadi petunjuk agung seraya
menyiratkan pesan kepadaku untuk keluar dari kegelisahan. Kendati sadar bahwa
aktivisme sebagai seorang mahasiswa yang dipenuhi tingkat kecemasan berlebihan
karena menanggung beban moral dan tanggung jawab sosial yang belum tuntas
terealisasi, tugas yang usang menumpuk diatas meja belajar, hingga draf skripsi
yang tak kunjung usai dikerjakan.
Tentunya, kepenatan semacam itu tidak bisa
dibiarkan menjamur dalam kepala, jika tidak ingin mengidap penyakit dan
depresi. Lantas, seorang teman, memberikan solusi atraktif, mengajak keluar kos
mengunjungi keindahan-keindahan alamiah di Magelang. Sayangnya, sebagai seorang
perantau dari Sumatra, aku tidak memiliki daftar khusus tempat-tempat wajib
yang harus dikunjungi. Namun, teman tadi langsung bergegas memberikan satu
nomer membanggakan yang menjadi lokasi pariwisata dan tempat alternatif yang dapat menjadi obat anti-depresan, sekadar
menjadi tempat merenung mungkin, atau,
menjadi tempat untuk meninggalkan
kegelisahan yang bersarang dalam hati dan kepala. Tempat pariwisata itu
bernama: Mangli.
Mangli
adalah ruang alternatif bagi mereka yang berkeinginan mencari ketenangan serta kesejukan
jiwa, kata temanku. Terletak di Kabupaten Magelang, dibawah kaki Gunung
Andong. Pun akses infrastruktur menuju lokasi sangat mendukung karena relatif
bagus. Teman tadi lanjut memberikan informasi,
bahwa aku akan mendapatkan keindahan-keindahan yang akan merangsang mata dan
kepala, juga suasana hati, katanya. lahan pertanian yang
luas dan hijau, bentang horizon pegunungan, garis siluet yang menyambut di
jalan jika berangkat pasca azan ashar berkumandang, hingga yang paling menarik
adalah, para pengunjung akan disuguhi pasar tradisional yang berlokasi
berdekatan dengan objek wisata Mangli; para pedagang yang menawarkan aneka
varian sayur-sayuran segar hasil pertanian warga setempat.
Tanpa
tendeng aling-aling, aku bergegas bersiap mengunjungi tempat wisata indah itu.
lagi pula, dari informasi yang aku dapat, registrasi pembayaran masuk kesana
sangatlah murah, kalau begitu, artinya sesuai dengan kantong mahasiswa inde-kos sepertiku.
Alih-alih
ingin melihat siluet orange yang
meliriskan, aku berangkat pukul 15.00 WIB. Dari pusat Kota Magelang,
mengendarai motor melalui jalur utama kearah Semarang. aku hanya perlu jalan
lurus saja, hinga nanti, sesampainya pada lampu merah terminal angkutan di Secang,
kembali jalan lurus, kira-kira 700-800 meter. Sesampainya pada simpang tiga,
aku mengambil arah kanan, daerah itu bernama Krincing. Dari situ, aku hanya
perlu mengikuti arus utama jalanan, hingga nanti bertemu Pasar Induk Grabag. Hingga sampai
pada pasar tradisional yang mengintrupsi bahwa aku harus belok ke kiri masuk
gang kecil yang telah berjejer ibu-ibu menawarkan kelembutan hingga
sayur-sayuran segar hasil pegunungan. Setelah melewati pasar tradisional itu, aku
harus belok kiri dan sampailah pada tujuan. Dari pasar tradisional, Mangli
tidak terlalu jauh lokasinya.
Demikianlah
cerita temanku tadi, belum sampai di lokasi, aku telah mendapati
pemandangan-pemandangan luar biasa yang disajikan dengan gratis oleh alam
Magelang. Astaga, indah sekali. Jalan-jalan yang menanjak, udara sejuk
menyelimuti hingga menggigilkan tubuh, para petani yang sibuk di
ladang-ladangnya, siluet yang menghipnotis mata dan jiwa, hingga bentang horizon alam serupa lukisan.
Meletakan
motor pada lahan parkir yang telah tersedia, berjalan menuju loket untuk
membayar uang masuk, dan setelahnya, aku bergegas memasuki lokasi indah nan
hijau itu, menuruni tangga yang relatif banyak. Astaga, maafkan aku, aku tidak
sempat menghitung berapa jumlah tangga disana, jadi, aku tidak dapat
menjelaskanya kepada kelain berapa jumlah tangga yang ada
disana. Sebab, aku tidak lagi terfokus pada hal-hal yang sederhana. Sepertinya
aku kehilangan tingkat kesadaran normal yang disebabkan oleh ribuan
hutan pinus yang masuk dengan penuh kedalam mataku: mengacaukan
konsesntrasi, sampai pada hilangnya hiruk-pikuk haru biru yang sedari kemarin
aku rasakan. Astaga, aku lupa skripsi dan kegelisahan seketika lenyap bersama
suara kicau burung-burung anggun yang entah dimana mengambil posisi. Jujur
saja, aku akan jujur kepada kalian, aku kembali pada sifat alamiah sebagai
seorang manusia, seperti dilahirkan kembali oleh alam.
tentunya, tidak lagi memikirkan hal-hal bingar yang menjamur dalam kerangka
kepala. Aku kembali memiliki kehendak bebas, dan
alam mengafirmasinya. Benar kata Soe Hok Gie, jika dunia terlalu fana untuk
dihadapi, larilah ke alam, maka, kau akan bebes. Dan hutan pinus mangli melakukannya kepadaku. Bebas, bebas,dan bebas.
Mangli
menjadi tempat yang benar-benar tenang untuk merenung dan mengintropeksi diri.
Berpikir tentang hal-hal buruk dan merencanakan perbaikan sikap prilaku dan
etika-moral secepat mungkin. Ketenangan, kesejukan, kenyamanan benar-benar aku
dapatkan sesampainya di Mangli. Duduk di rerumputan dan menengada ke langit,
menyaksikan daun-daun yang bergoyang mengikuti intonasi tiupan angin yang
berhebus pelan hingga kencang. Keteduhan dan hal-hal yang sulit aku
deskripsikan.
Ada
beberapa rumah-rumahan yang tingginya kurang lebih 2 meter. Aku menaiki tangga
dan duduk disana lalu menghadap senja yang sebentar lagi akan
terbenam. Maksudku begini, selain keteduhan dan kelirisan yang dihasilkan oleh
angin sejuk pegunungan, pohon-pohon pinus yang tinggi dan memiliki dedaunan
yang indah dan hijau. Ada sesuatu yang tidak bisa aku
lewatkan, walaupun hampir saja aku melewatkannya
karena terlalu asik memandangi dedaunan yang bergoyong dan sayup mendengarkan
suara angin yang berkolaborasi dengan siul burung. Aku hampir melewatkan senja.
Senja akan terlihat lebih indah jika kita
melihatnya dari Mangli, jelas saja, Senja yang pelan-pelan akan kundurdiri,
terlihat lebih anggun dari sela-sela pepohonan pinus
yang memberi kesan berbeda dari penglihatan biasanya.
Desir duan yang bergesekan dengan duan lainnya menghadirkan bunyi yang indah,
siyulan burung, hebusan angin kencang, dan hal-hal
seperti itu persis serupa instrumen musik klasik a la Cole Porte.
Ditambah, pemandangan
warna senja yang berangsur-angsur akan menghilang serupa novel yang pernah aku
baca, Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira
Ajidarma.
Tentunya, aku tenggelam dalam romantisme musik dan novel tanpa harus mendengar
Cole Porte atau membaca Seno Gumira Ajidarma.aku hanya perlu datang ke Mangli.
Magelang
adalah atlantis, kataku. Tidak, atlantis adalah utopia dan tak akan pernah
ditemukan, kata temanku. Lantas kami berdebad cukup panjang. Pasalnya, aku
terbawa romantisme imajinatif dan ilutif dalam menggambarkan Magelang sebagai
kota tua yang manis dan bersejarah. Sedang temanku, lebih realistis karena
mengacu pada bukti-bukti dilapangan. Bahwa Magelang memang demikian adanya:
wilayah yang memiliki ruang-ruang populer sebagai objek destinasi
wisata para wisatawan lokal hingga mancanegara. Aku terdiam, dan mengamini apa
yang temanku sampaikan. Bahwa memang demikian, Magelang minyampan kekayaan alam
yang luar biasa indahnya dan menjadi lokasurgawi yang tak
mungkin terlewatkan untuk dikunjungi.
Kegelisahan
tentunya benar-benar tertinggal di Mangli. Pun Mangli berhasil merangsang aku
lebih semangat untuk menyelesaikan sampai tuntas tugas-tugas yang belum
terselesaikan. Aku berjanji akan menjadikan Mangli sebagai
rutinitas akhir pekan untuk memecahkan semua kebuntuhan dan pesimisme kehidupan
yang kerap datang menerpa. Membawa buku puisi karangan Pablo Neruda tentang
hutan dan membacanya, mendengar musik organik yang diciptakan oleh alam, dan
tidak melewatkan senja dari sela-sela pepohonan pinus yang menjulang kelangit,
hingga pada renungan-renungan kecil yang terbangun secara natural disana.
Hal-hal semacam itu aku fikir sangat membantu keberlangsungan hidup manusia.
Aih, kegelisahan sebegitu instan hilang hanya karena adanya persentuhan antara
jiwa manusia dan alam. Dan, aku punya rencana romantik, suatu saat nanti,
mambawa calon istriku berlarian dibawah teduh pepohonan dan pada akhirnya
beristirahat di batas ujung senja.
Aku
menyatakan bahwa Magelang tercipta kala Tuhang sedang meliris. Sebab, struktur
wilayahnya yang, sekali lagi, benar-benar indah, unsur warganya yang ramah dan
lembut, dan memiliki tata ruang wilayah yang rapi serta cendrung berwawasan
ekologi. Tak ayal jika dikemudian hari Magelang menjadi tujuan pariwisata
populer dengan berpuluh-puluh lokasi wisata menakjubkan, terlebih, Magelang sangat
inovatif.
Magelang. 10 Agustus 2017