Keberadaan kesenian tradisional topeng ireng kini telah populer, tak hanya tersaji dalam pertunjukan langsung tapi juga bisa dinikmati melalui kepingan VCD yang dijual. Bagaimana sejarah terciptanya kesenian yang secara visual kostumnya seperti suku Indian ini,
Syair di atas merupakan tembang yang biasa dinyanyikan pada saat pementasan kesenian tradisional topeng ireng. Setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa lirik itu mengandung ajakan kebaikan atau dakwah Islamiyah.
Syair itu terkait dengan sejarah diciptakannya kesenian tradisional topeng ireng. Memang belum ada pakem sejarah munculnya kesenian yang diiringi musik dan syair rancak ini. Namun hampir semua syair topeng ireng baik di kawasan lereng bukit Menoreh, Lereng Merbabu, Merapi dan Sumbing hampir sama.
Tim Info Borobudur mencoba melakukan investigasi melakukan penelusuran ke beberapa kantong-kantong pegiat kesenian tradisional yang memiliki produk tari topeng ireng. Dalam penulusuran tersebut belum ditemukan buku ataupun referensi yang pakem soal sejarah munculnya topeng ireng.
Akhirnya kisah yang didapat Info Borobudur berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat bahkan telah melegenda tak hanya di Magelang tapi seluruh Jateng. Biarpun ini berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, tapi itu bagian dari fakta dan realitas sejarah yang terjadi di masyarakat.
Munculnya kesenian ini banyak yang memperkirakan pada masa penjajahan Jepang atau pada masa Revolusi ketika bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Pada saat itu penduduk pribumi tak boleh melakukan aktivitas kanuragan atau bela diri juga beraktivitas organisasi yang bisa membahayakan penjajah.
Agar bisa tetap berlatih kanuragan atau pencak silat penduduk pribumi mengelabuhi penjajah dengan berlatih gerakan yang milit dengan kanuragan tapi diiringi dengan musik. Saat itu alat musik yang digunakan cukup sederhana seperti jedor, seruling dan ecrek-ecrek.
Masyarakat saat itu menyembunyikan latihan kanuragan dalam gerak tari. Salah satu tempat yang diyakini menjadi awal munculnya tarian ini adalah di Lereng Bukit Menoreh Borobudur tepatnya di Tuk Songo. Dahulu namanya Topeng Kawedar, menampilkan gerakan silat yang diiringi ilustrasi musik perkusi jedor.
Ketua I Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur(Askrab), Wasis mengatakan pertamakali munculnya kesenian tradisional ini di Tuk Songo Borobudur. Dahulu namanya Topeng Kawedar, arti dari kawedar itu menyibak atau membuka. Maksudnya membuka topeng dan memperlihatkan wajah asli penyanyi yang sudah diberi make up warna gelap dan terang sehingga tak terlihat lagi wajah aslinya.
Dia menceritakan, penggagasnya di Tuk Songo bersanama Ki Sujak. Pada zaman penjajahan Jepang 1940-an, mengembang ilmu kanuragan yang diiringi dengan ilustrasi musik perkusi. Bentuknya masih sederhana, dahulu para penarinya justru telanjang dada, hanya mengenakan celana puser ke bawah sedangkan kepalanya diikat dengan jalur kuning begitu juga dengan kedua kaki dan tangannya.
‘’Zaman dahulu kostumnya tidak seperti sekarang, hanya sederhana kepala kaki dan tangan dihiasi dengan janur kuning. Pada waktu itu belum menggunakan krincingan seperti sekarang tapi menggunakan lonceng besar yang di pasang di pinggang penari,’’ujarnya.
Menurutnya, antara zaman dahulu dengan sekarang yang beda adalah unsur dasar tariannya, yakni terdiri dari gerakan dasar kubro siswo, rodad atau gandul muslimin dan pencak silat Jawa. Ketiga unsur gerakan tersebut yang mendasri tariang topeng ireng atau topeng kawedar.
Pada zaman dahulu make up yang digunakan untuk wajah penari hanya dua warna yakni hitam dan putih, untuk warna putihnya dari kapur dan warna hitamnya dari arang. Namun sekarang ini make up telah berkembang, menggunakan penghias wajah dan unsur warnanya juga beragam merah, putih dan hitam. Terkadang juga warna orange dan biru yang mempercantik tampilan wajah mereka.
Setelah kemerdekaan, lanjut dia, kesenian ini semakin berkembang pada setiap pementasan penari yang terlibat mencapai puluhan. Karena banyaknya penari yang ikut pentas inilah kemudian kesenian ini dijuluki ‘’Dayakan’’. Kalimat tersebut muncul dari istilah Jawa, saking banyaknya penari yang ikut dijuluki ‘’Sak Dayak’’ (banyak sekali).
‘’Nama Dayakan bukan bermaksud menjurus pada suatu suku yang ada di Indonesia tapi itu istilah Jawa yang maksudnya banyak sekali. Pernah juga diprotes karena itu nama topeng ireng lebih tepat untuk menamai kesenian ini,’’tandasnya.
Sedangkan nama Topeng Ireng itu sendiri, ada yang mengaitkan dengan rangkaian kata yakni berasal dari kata Toto Lempeng Irama Kenceng. Toto artinya menata, lempeng berarti lurus, irama berarti nada, dan kenceng berarti keras. Oleh karena itu, dalam pertunjukan Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras dan penuh semangat.
+*+
Tarian ini, sebagai wujud pertunjukan seni tradisional yang memadukan syiar agama Islam dan ilmu beladiri atau pencaksilat. Tak heran, Topeng Ireng selalu diiringi dengan musik yang rancak dan lagu dengan syair Islami. Selain sebagai syiar agama Islam, pertunjukan Topeng Ireng juga menggambarkan tentang kehidupan masyarakat pedesaan yang tinggal di lereng gunung.
Dari gerakannya, tegas menggambarkan kekuatan fisik yang dimiliki oleh masyarakat desa saat bertarung maupun bersahabat dengan alam guna mempertahankan hidupnya. "Sebelum dikenal dengan nama Topeng Ireng,
seni pertunjukan ini dikenal dengan nama kesenian Dayakan," lanjut Jumadi. Hanya saja, nama Dayakan ini didasarkan pada kostum yang digunakan
oleh para penari. Busana bagian bawah yang digunakan oleh para penari
menyerupai pakaian adat suku Dayak. "Sekitar tahun 1995, kata Dayakan
dinilai mengandung unsur SARA, kemudian kesenian ini diubah menjadi
kesenian Topeng Ireng," ujarnya.
Namun, sejak tahun 2005 nama Dayakan dipopulerkan lagi sehingga
menjadikan kesenian ini dikenal dengan dua nama, Topeng Ireng dan
Dayakan. Daya tarik utama yang dimiliki oleh kesenian Topeng Ireng,
tentu saja terletak pada kostum para penarinya.
Cikal bakal kesenian tradisional Topeng Ireng di wilayah Kabupaten
Magelang, menurut Jumadi, diperkenalkan oleh seorang Lurah (kepala
desa) Tuksongo, Kecamatan Borobudur. Pada masa itu, kelompok tarian
diberi nama 'Topeng Kawedar' dimainkan oleh petani tembakau. Namun
kelompok ini tidak berkembang, karena para penari terkendala oleh
aktivitas musim pertanian tembakau.
"Ya, Tuksongo menjadi cikal bakal tarian Topeng Ireng. Tarian
tersebut diperkenalkan, setelah seirang Lurah pulang memantau di
wilayah Sumatra, kemudian mendirikan kelompok tarian dengan syair
solawatan. namun saya tidak mengetaui persis, kapan tarian tradisional
itu diperkenalkan," ujar Jumadi.
Kesenian tradisioal Topeng ireng, biasanya menggunakan asesoris atau
hiasan bulu warna-warni, menyerupai mahkota kepala suku Indian yang
menghiasi kepala setiap penari. Dengan mahkota bulunya, riasan wajah
para penari dan pakaian para penari juga seperti suku Indian.
Berumbai-rumbai dan penuh dengan warna-warna ceria.
Sedangkan kostum bagian bawah, seperti pakaian suku Dayak, rok
berumbai-rumbai. Untuk alas kaki biasanya mengenakan sepatu gladiator
atau sepatu boot dengan gelang kelintingan yang jumlahnya mencapai 200
buah, setiap pemainnya dan menimbulkan suara riuh gemerincing di tiap
gerakannya.
Setiap pertunjukan Topeng Ireng akan riuh rendah diiringi berbagai
bunyi-bunyian dan suara. Mulai dari suara hentakan kaki yang
menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para
penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para
penonton. Musik yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan
Topeng Ireng adalah alat musik sederhana seperti gamelan, kendang,
terbang, bende, seruling, dan rebana.
Alunan musik ritmis yang tercipta, menyatu dengan gerak dan teriakan
para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif, penuh
dengan kedinamisan dan religiusitas. Biasanya penarinya terdiri dari
10 - 13 orang atau lebih, dan membentuk formasi persegi atau melingkar
dengan gerak tari tubuh yang tidak terlalu kompleks. Para penari juga
terlihat sangat ekspresif dalam membawakan tariannya.
Tarian Topeng Ireng sebenarnya mudah untuk dipelajari, karena
gerakannya yang sederhana. Tidak ada gerak tubuh yang rumit, karena
yang menjadi poin utama dari tarian ini adalah kekompakan. Semakin
banyak penari yang turut serta, maka semakin indah kolaborasi yang
tercipta. Berhubung Topeng Ireng diciptakan sebagai kolaborasi antara
syiar agama Islam dan ilmu pencak silat, tarian para penarinya juga
berasal dari gerakan-gerakan pencak silat yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa.
Satu lagi yang menjadi keistimewaan tarian Topeng Ireng dibandingkan
kesenian rakyat lainnya, adalah gerakannya yang tidak monoton. Dari
waktu ke waktu inovasi baru selalu dilakukan dalam tiap pertunjukan
Topeng Ireng. Pengembangan unsur-unsur artistik dan koreografi
dilakukan, supaya penontonnya tidak mengalami kebosanan sekaligus
untuk menarik minat kaum muda agar mau bergabung menjadi anggota
kelompok Topeng Ireng.
Pertunjukan Topeng Ireng sendiri terbagi menjadi dua jenis tarian.Yang pertama adalah Rodat yang berarti dua kalimat syahadat. Tarian
ini ditampilan dengan gerakan pencak silat sederhana, serta diiringi
lagu-lagu syiar Islami. Jenis tarian lainnya adalah Monolan yang
melibatkan penari dengan kostum hewan.
Durasi pertunjukan Topeng Ireng sangat fleksibel, tidak ada peraturan
khusus mengenai lamanya tarian. Penampilan para penari bisa dibuat 15
menit, 10 menit, bahkan 5 menit saja. "Durasi tarian Topeng Ireng,
tergantung permintaan yang mempunyai hajat," tambah Jumadi.
Berdasarkan data yang ada, di Kabupaten Magelang, kelompok kesenian
tradisional Topeng Ireng, terdapat sekitar 13 kelompok, diantaranya
Topeng Ireng 'Genta Rimba' asal Dusun Ngampel, Desa Pandanretno,
Kecamatan Srumbung, ada 'Dewa Rimba' dari Bandungrejo Ngablak,
'Satria Rimba' dari Gatak, Plosogede Ngluwar, 'Kidung Kawedar' dari
Gejagan Sriwedari, Muntilan. 'Putra Seni Rimba' dari Kerban,
Sumberarum, Tempuran, 'Mutiara Rimba' dari Secang Krajan, Secang.
'Jimat Kalimosodo' dari Bawangan, Kepuhan, Sawangan, 'Bina Muda' dari
Soko, Ngargosoko, Srumbung, 'Seto Aji Kumitir' dari Kepil, Krinjing,
Dukun. (ali subchi - Sholahuddin Al-ahmad)
==
GUNA mensiasati terhadap larangan seni bela diri pada masa penjajahan
Jepang sekitar tahun 1940-an, seorang Lurah (kini kepala desa)
Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Magelang, bernama Ki Sujak membetuk
sebuah kesenian tradisional yang diberi nama Topeng Ireng. Topeng
Ireng merupakan kolaborasi antara kesenian tradisional Kubro Siswo,
Rodat (Gandul Muslimin) dan Pencak Silat Jawa.
"Topeng Ireng sama dengan Topeng Kawedar. Arti Topeng Kawedar,
adalah membuka topeng. Dulunya, para penari menggunakan topeng,
kemudian topeng yang dipakai penari dibuka, sebagai pengganti topeng,
muka penari diberi pewarnaan hitam dan putih dari arang (jelaga) dan
jet (kapur)," ujar Ketua I Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur
(Askrab), Wasis.
Kesenian Topeng Kawedar juga disebut dengan nama 'Dayakan' yang
artinya peserta kesenian yang begitu banyak, sehingga orang sering
menyebutnya 'Dayakan'. Kata 'Dayakan' bukan berarti kesenian tersebut
berasal dari sebuah suku di Kalimantan.
"Nama Dayakan didasarkan pada banyaknya peserta, kostum yang
digunakan oleh para penari, termasuk busana bagian bawah yang
digunakan oleh para penari menyerupai pakaian adat suku Dayak. kata
Dayakan dinilai mengandung unsur SARA, maka kesenian tersebut diubah
menjadi kesenian Topeng Ireng," ujarnya.
Berdasarkan data di Askrab, ada 20 kelompok Topeng ireng di wilayah
Kecamatan Borobudur, karena hmpir semua desa di wilayah Kecamatan
Borobudur, mempunyai kelompok kesenian tradisional Topeng Ireng.
Kelompok kesenian tersebut terus mengalami perkembangan pesat, karena
memang asal usul kesenian Topeng Ireng, cikal bakalnya dari Desa
Tuksongo, Borobudur.
Dalam perkembangannya, Topeng Ireng terus mengalami perubahan. Jika
pada era tahun 1970-an, asesoris yang digunakan adalah janur daun
kepala, kini berkembang menggunakan bulu ayam yang dibuat sedemikian
rupa, termasuk kulur, kelat bahu hingga gelang. Bahkan untuk asesoris
kaki, semula memakai gento, kini diganti menggunakan krintingan.
Pada tahun 1980 - 1990-an, asesoris untuk hiasan kelapa seperti suku
Indian yang tetap menggunakan janur. Tetapi terjadi perubahan drastis,
saat ada festifal yang digelar sebuah partai politik yag mengharuskan
peserta kesenian tradesional melakukan perubahan, maka hiasan yang
semula menggunakan janur, diganti dengan kain.
Agar tarian Topeng Ireng tidak monoton, sekarang ini mulai ada
sentuhan koreografi yang dilakukan pada Paguyuban Topeng Ireng
'Manusia Rimba' agar tarian tidak monoton. Seperti pada tarian silat
dengan bentuk yang sama yang diperagakan dua macan. "Disini mulai
diatur gerak tariannya, melalui sentuhan koregrafi ini, tidak membuat
bosan penonton," jelas Wasis.
===
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, kesenian Topeng Ireng
mulai berkembang di tengah masyarakat lereng Gunung Sumbing, Merapi
dan Merbabu, sejak zaman penjajahan Belanda, dilanjutkan dalam
perkembangannya tahun 1960-an.
Pada zaman Pemerintahan Belanda, pemerintah jajahan pada masa lalu
melarang masyarakat berlatih silat, sehingga warga mengembangkan
berbagai gerakan silat menjadi tarian rakyat. Tarian yang diiringi
dengan musik seperti Jedor, Kendang Bolong, Bende dan Terbang Hadroh,
dengan syair solawatan tersebut, intinya menyangkut berbagai nasihat
tentang kebaikan hidup dan penyebaran agama Islam.
Setelah itu, perkembangan Seni Pertunjukan Topeng Ireng berkembang
apabila umat Islam membangun masjid atau mushola, sebelum mustaka
(kubah) dipasang maka mustaka tersebut akan diarak keliling desa.
Kirab tersebut akan diikuti seluruh masyarakat disekitar masjid dengan
tarian yang diiringi rebana dan syair puji-pujian. Dalam
perjalanannya, kesenian tersebut berkembang menjadi kesenian Topeng
Ireng.
Pengurus Kesenian Tradisional Topeng Ireng 'Mausia Rimba' Dusun
Gedongan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang,
Jumadi menyebutkan, ada berbedaan antara kesenian tradisional Kubro
siswo dengan Topeng Ireng. Bedanya, jika Topeng Ireng menggunakan
tarian hewan, sedang Kubro Siswo menggunakan tarian atraksi.
Ada tiga unsur yang dipadukan dalam kesenian tradisional Topeng
Ireng, yakni gerak, lagu dan musik. Untuk lagunya, selalu menyanyikan
syair atau solawatan yang inti solawatan tersebut, mengajak laki-laki
dan perempuan untuk mencari ilmu hingga pandai. "Cengkok atao nada
lagu solawatan yang dipakai dalam tarian Topeng Ireng, memang
mengalami perkembangan, namun intinya sama," kata Jumadi.
Etimologi
Nama Topeng Ireng itu sendiri, berasal dari kata Toto Lempeng Irama
Kenceng. Toto artinya menata, lempeng berarti lurus, irama berarti
nada, dan kenceng berarti keras. Oleh karena itu, dalam pertunjukan
Topeng Ireng para penarinya berbaris lurus dan diiringi musik berirama
keras dan penuh semangat.
Tarian ini, sebagai wujud pertunjukan seni tradisional yang memadukan
syiar agama Islam dan ilmu beladiri atau pencaksilat. Tak heran,
Topeng Ireng selalu diiringi dengan musik yang rancak dan lagu dengan
syair Islami. Selain sebagai syiar agama Islam, pertunjukan Topeng
Ireng juga menggambarkan tentang kehidupan masyarakat pedesaan yang
tinggal di lereng gunung.
Dari gerakannya, tegas menggambarkan kekuatan fisik yang dimiliki
oleh masyarakat desa saat bertarung maupun bersahabat dengan alam guna
mempertahankan hidupnya. "Sebelum dikenal dengan nama Topeng Ireng,
seni pertunjukan ini dikenal dengan nama kesenian Dayakan," lanjut
Jumadi.
Hanya saja, nama Dayakan ini didasarkan pada kostum yang digunakan
oleh para penari. Busana bagian bawah yang digunakan oleh para penari
menyerupai pakaian adat suku Dayak. "Sekitar tahun 1995, kata Dayakan
dinilai mengandung unsur SARA, kemudian kesenian ini diubah menjadi
kesenian Topeng Ireng," ujarnya.
Namun, sejak tahun 2005 nama Dayakan dipopulerkan lagi sehingga
menjadikan kesenian ini dikenal dengan dua nama, Topeng Ireng dan
Dayakan. Daya tarik utama yang dimiliki oleh kesenian Topeng Ireng,
tentu saja terletak pada kostum para penarinya.
Cikal bakal kesenian tradisional Topeng Ireng di wilayah Kabupaten
Magelang, menurut Jumadi, diperkenalkan oleh seorang Lurah (kepala
desa) Tuksongo, Kecamatan Borobudur. Pada masa itu, kelompok tarian
diberi nama 'Topeng Kawedar' dimainkan oleh petani tembakau. Namun
kelompok ini tidak berkembang, karena para penari terkendala oleh
aktivitas musim pertanian tembakau.
"Ya, Tuksongo menjadi cikal bakal tarian Topeng Ireng. Tarian
tersebut diperkenalkan, setelah seirang Lurah pulang memantau di
wilayah Sumatra, kemudian mendirikan kelompok tarian dengan syair
solawatan. namun saya tidak mengetaui persis, kapan tarian tradisional
itu diperkenalkan," ujar Jumadi.
Kesenian tradisioal Topeng ireng, biasanya menggunakan asesoris atau
hiasan bulu warna-warni, menyerupai mahkota kepala suku Indian yang
menghiasi kepala setiap penari. Dengan mahkota bulunya, riasan wajah
para penari dan pakaian para penari juga seperti suku Indian.
Berumbai-rumbai dan penuh dengan warna-warna ceria.
Sedangkan kostum bagian bawah, seperti pakaian suku Dayak, rok
berumbai-rumbai. Untuk alas kaki biasanya mengenakan sepatu gladiator
atau sepatu boot dengan gelang kelintingan yang jumlahnya mencapai 200
buah, setiap pemainnya dan menimbulkan suara riuh gemerincing di tiap
gerakannya.
Setiap pertunjukan Topeng Ireng akan riuh rendah diiringi berbagai
bunyi-bunyian dan suara. Mulai dari suara hentakan kaki yang
menimbulkan bunyi gemerincing berkepanjangan, suara teriakan para
penari, suara musik yang mengiringi, hingga suara penyanyi dan para
penonton. Musik yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan
Topeng Ireng adalah alat musik sederhana seperti gamelan, kendang,
terbang, bende, seruling, dan rebana.
Alunan musik ritmis yang tercipta, menyatu dengan gerak dan teriakan
para penari sehingga pertunjukan Topeng Ireng terlihat atraktif, penuh
dengan kedinamisan dan religiusitas. Biasanya penarinya terdiri dari
10 - 13 orang atau lebih, dan membentuk formasi persegi atau melingkar
dengan gerak tari tubuh yang tidak terlalu kompleks. Para penari juga
terlihat sangat ekspresif dalam membawakan tariannya.
Tarian Topeng Ireng sebenarnya mudah untuk dipelajari, karena
gerakannya yang sederhana. Tidak ada gerak tubuh yang rumit, karena
yang menjadi poin utama dari tarian ini adalah kekompakan. Semakin
banyak penari yang turut serta, maka semakin indah kolaborasi yang
tercipta. Berhubung Topeng Ireng diciptakan sebagai kolaborasi antara
syiar agama Islam dan ilmu pencak silat, tarian para penarinya juga
berasal dari gerakan-gerakan pencak silat yang telah dimodifikasi
sedemikian rupa.
Satu lagi yang menjadi keistimewaan tarian Topeng Ireng dibandingkan
kesenian rakyat lainnya, adalah gerakannya yang tidak monoton. Dari
waktu ke waktu inovasi baru selalu dilakukan dalam tiap pertunjukan
Topeng Ireng. Pengembangan unsur-unsur artistik dan koreografi
dilakukan, supaya penontonnya tidak mengalami kebosanan sekaligus
untuk menarik minat kaum muda agar mau bergabung menjadi anggota
kelompok Topeng Ireng.
Pertunjukan Topeng Ireng sendiri terbagi menjadi dua jenis tarian.Yang pertama adalah Rodat yang berarti dua kalimat syahadat. Tarian
ini ditampilan dengan gerakan pencak silat sederhana, serta diiringi
lagu-lagu syiar Islami. Jenis tarian lainnya adalah Monolan yang
melibatkan penari dengan kostum hewan.
Durasi pertunjukan Topeng Ireng sangat fleksibel, tidak ada peraturan
khusus mengenai lamanya tarian. Penampilan para penari bisa dibuat 15
menit, 10 menit, bahkan 5 menit saja. "Durasi tarian Topeng Ireng,
tergantung permintaan yang mempunyai hajat," tambah Jumadi.
Berdasarkan data yang ada, di Kabupaten Magelang, kelompok kesenian
tradisional Topeng Ireng, terdapat sekitar 13 kelompok, diantaranya
Topeng Ireng 'Genta Rimba' asal Dusun Ngampel, Desa Pandanretno,
Kecamatan Srumbung, ada 'Dewa Rimba' dari Bandungrejo Ngablak,
'Satria Rimba' dari Gatak, Plosogede Ngluwar, 'Kidung Kawedar' dari
Gejagan Sriwedari, Muntilan. 'Putra Seni Rimba' dari Kerban,
Sumberarum, Tempuran, 'Mutiara Rimba' dari Secang Krajan, Secang.
'Jimat Kalimosodo' dari Bawangan, Kepuhan, Sawangan, 'Bina Muda' dari
Soko, Ngargosoko, Srumbung, 'Seto Aji Kumitir' dari Kepil, Krinjing,
Dukun. (ali subchi - Sholahuddin Al-ahmad)
Sentuhan Koreografi Tarian Topeng Ireng Tak Monoton